PURWOREJO, epurworejo.com – Kepergian KH Muhammad Thoifur Mawardi atau akrab disapa Abuya Thoifur pada Selasa (19/8/2025) lalu meninggalkan duka mendalam bagi umat Islam, khususnya masyarakat Purworejo. Ulama kharismatik itu bukan hanya dikenal di tanah air, bahkan namanya harum hingga Haramain. Namun di balik popularitas dan keluasan ilmunya, Abuya tetap konsisten menjaga tradisi sederhana yakni menghidupkan pengajian selapanan di mushola-mushola perkampungan.
Salah satu kisah itu terungkap dalam acara Khotmil Qur’an dan Maulid Nabi Muhammad SAW di Mushola Baitul Qoror, Karangjati, Kelurahan Cangkrepkidul, Purworejo, Minggu (24/8) malam. Putra beliau, KH Agus Muhammad Qosim, mengenang betapa sang ayah puluhan tahun tak pernah lelah hadir mengisi selapanan malam Selasa Kliwon di mushola kecil yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
“Sejak muda, Abah selalu datang ke sini. Mengaji kitab, menyampaikan fiqih, akidah, juga ilmu-ilmu lainnya. Harapan beliau, selapanan ini jangan sampai berhenti, harus terus dilestarikan,” tutur Gus Qosim di hadapan jamaah.
Kisah itu juga dikuatkan oleh Ustadz Ahmad Wahib, imam Mushola Baitul Qoror. Ia menuturkan, tradisi selapanan ini sudah dimulai sejak ayahnya, KH Abdul Aziz, masih hidup. Setelah kepemimpinan mushola berpindah kepadanya dan sang kakak, Amir Sohib, Abuya tetap setia hadir.
“Kalau sehat, Abah (Thoifur) selalu datang. Meski sudah sepuh, semangatnya luar biasa. Kalau sakit, biasanya diwakilkan oleh putra atau menantunya seperti Gus Fadil, Gus Imam. Saat pengajian Rajabiyah atau Maulid, Gus Qosim yang mengisi,” ungkap Wahib.
Bagi Wahib, keikhlasan dan kesederhanaan Abuya Thoifur adalah teladan. “Beliau ulama besar, dikenal sampai Haramain, tapi tetap mau datang ke mushola kampung ini dengan penuh keikhlasan. Tidak pernah membeda-bedakan jamaah, suguhan apapun diterima dengan hormat. Itu yang membuat beliau sangat dihormati,” katanya.
Lebih dari sekadar rutinan, selapanan yang dihidupkan Abuya Thoifur adalah warisan spiritual. Sebuah ruang bagi masyarakat desa untuk belajar, mengaji kitab, dan memperkuat ikatan jamaah. Bukan hanya mengaji Al-Qur’an, tetapi juga memperdalam pemahaman agama dengan cara sederhana namun penuh makna.
Kini, setelah Abuya berpulang, estafet itu diserahkan kepada para putra dan keluarga beliau. Harapan besar disematkan agar selapanan tetap hidup, bahkan semakin ramai, sebagaimana pesan Abuya setiap mengisi selapanan, yang dikutip Ustadz Wahib “yang terpenting, selapanan ini jangan sampai berhenti.”
Iswahyudi, salah satu jamaah yang juga panitia maulid, tak kuasa menyembunyikan harunya. Ia masih ingat betul bagaimana pada era 90-an, ia yang bertugas menjemput Abuya dengan sepeda motor lawas merek Prima.
“Dulu saya sendiri yang menjemput beliau. Tidak ada rasa keberatan sama sekali, malah senang. Karena bisa menghadirkan ulama besar di mushola kecil ini. Dan beliau tidak pernah menolak,” kenangnya.
Bagi Iswahyudi, keberkahan selapanan ini nyata dirasakan jamaah. Ia berharap tradisi ini tak berhenti meski Abuya telah wafat. “Semoga selapanan ini terus berjalan, berkah, semakin ramai, dan diridhoi Allah Swt,” ujarnya. (*)
Baca Berita Pantura

