PURWOREJO, epurworejo.com – Kesenian tradisional Ketoprak kerap dianggap sebagai tontonan kuno yang hanya cocok ditampilkan dan dinikmati kalangan orang tua. Padahal, Ketoprak juga menarik untuk dikembangkan dan menjadi tontonan edukatif bagi generasi muda di sekolah. Syaratnya guru harus kreatif dan inovatif dalam melakukan pendampingan dengan menghadirkan konsep-konsep dan pilihan cerita mengasyikan sesuai perkembangan zaman.
Hal itu mengemuka dalam Workshop Ketoprak bagi Guru Bahasa Jawa SMP se-Kabupaten Purworejo yang digelar oleh Komite Teater Dewan Kesenian Purworejo (DKP) bersama Paguyuban Ketoprak Purworejo (Pak Purwo) di Aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kabupaten Purworejo, Sabtu (9/11). Workshop dibuka Kepala Dindikbud yang diwakili Kabid Kebudayaan, Dyah Woro Setyaningsih, diikuti 50-an peserta.
Baca Berita Pantura
Selama sehari, mereka diajak mendalami seluk-beluk Ketoprak bersama sejumlah narasumber, baik dari internal maupun eksternal DKP. Dua pemateri utama yakni, Nano Asmorodono (Mestro Ketoprak asal Yogyakarta) dan Witoyo (Ahli alih aksara dan Penulis Buku Babad Banyuurip asal Purworejo).
Dalam paparannya, Nano Asmorodono menyampaikan bahwa Ketoprak merupakan kesenian rakyat yang berkembang mengikuti zamannya. Untuk menjawab tuntutan zaman itu, sutradara ketoprak harus berani berinovasi.
“Misal, Ketoprak tidak harus menggunakan Bahasa Jawa tok! Bisa dengan bahasa Indonesia. Bahasa campuran Indonesia-Jawa. Bahasa Gaul. Bahkan, bahasa Inggris pun jadi karena ditilik dari lahirnya Ketoprak itu sendiri memungkinkan untuk itu,” katanya.
Nano pun mengajak agar para guru di sekolah dapat adaptif dengan kebutuhan siswa, baik sebagai pemain maupun penikmat. Lakon yang dipilih juga tidak harus mengangkat sejarah secara pakem. Cerita-cerita rakyat dapat dipadupadankan dengan fenomena sosial yang berkembang dan digandrungi siswa.
“Tanpa menghilangkan ruh dari Ketoprak itu sendiri, kita bisa mengemasnya menjadi sebuah tontonan yang menyenangkan dan sarat tuntunan. Judulnya mungkin bisa dibuat yang agak gaul,” tandasnya.
Lebih lanjut Nano menyampaikan bahwa tantangan mengembangkan ketoprak di masyarakat juga kian berat. Karena itu, butuh upaya berkelanjutan dari berbagai pihak.
“Tapi saya yakin Ketoprak tidak akan mati karena Ketoprak itu kan kesenian milik rakyat,” tandasnya.
Kabid Kebudayaan Dindikbud menyambut baik atas inisitif dari DKP menggelar Workshop Ketoprak. Menurutnya, workshop yang dimotori oleh Komite Teater ini merupakan event terakhir dari fasilitasi anggaran dana Dindikbud untuk DKP, setelah sebelumnya berbagai event digelar sejumlah komite.
“Ini saatnya bapak ibu mengikuti workshop dari narasumber yang luar biasa untuk bisa menghidupkan kembali Ketoprak dengan kemasan-kemasan yang kekinian. Kalau kemudian bapak ibu nantinya siap berkompetisi untuk main ketoprak ringkas yang hanya berapa menit ya silakan diusulkan kepada kami,” ungkap Woro kepada peserta.
Dalam sesi diskusi, sejumlah guru menginginkan agar workshop kali ini dapat ditindaklanjuti dengan pelatihan secara praktik agar para guru dapat memberikan contoh kepada siswa. Salah satunya yakni Sudiyati, guru SMP 10 Purworejo.
“Karena kalau tanpa contoh, siswa itu agak sulit. Jadi kita juga perlu mendapatkan pelatihan secara praktik,” ujarnya.
Sementara itu, Agus Pramono, Ketua Harian DKP yang juga Ketua Pak Purwo, menyebut bahwa workshop kali ini digelar untuk menggeliatkan kembali Ketoprak di kalangan pelajar. Pihaknya berharap, workshop yang cukup singkat ini dapat ditindaklanjuti oleh para guru dengan berinisiatif untuk memunculkan ide-ide terkait pengembangan Ketoprak di sekolahnya.
“Workshop hari ini hanya menjadi awalan atau stimulan. Usulan terkait adanya pelatihan secara praktik kami tampung. Semoga ke depan Purworejo ini juga bisa menggelar festival ketoprak pelajar,” katanya. (*)
Baca Berita Pantura