PURWOREJO- Sebuah usaha jika ditekuni dan dikerjakan dengan sungguh-sungguh pastilah mendatangkan hasil yang memuaskan.
Setidaknya inilah yang kini dirasakan Abtadiussholikhin, warga Desa Kaliwader, Kecamatan Bener, Purworejo.
Usaha budidaya umbi Porang yang selama ini ia geluti mulai menunjukan hasil dan bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah.
Abta mengatakan, dirinya mulai serius bertani Porang saat menjabat sebagai Kepala Desa Kaliwader pada tahun 2019.
“Saya dan beberapa warga di Desa Kaliwader mulai menanam tahun 2019, kami mendengar harganya bagus dan melihat itu potensi sumber pendapatan,” katanya, Selasa (16/7/2024).
Dikatakan, sebenarnya di Purworejo sudah banyak tanaman umbi Porang, namun banyak yang belum tahu bahwa umbi tersebut memiliki harga yang mahal.
“Saat jadi Kades saya bikin program Sekolah Porang di Madiun mengajak kelompok tani, dan sekarang Porang disini bisa berkembang,” ungkapnya.
Disampaikan Abta, harga Porang hingga saat ini masih cukup tinggi. Sekarang harga di pabrik masih di angka Rp 11.800 per kilo.
Harga termahal, sepengetahuan Abta, Porang pernah mencapai Rp 14.500 per kilo. Termurah, Porang bisa mencapai Rp 3000 per kilo.
Menurutnya, Porang memiliki harga yang lumayan tinggi karena biasanya diekspor ke luar negeri untuk bahan pembuatan makanan pokok seperti mie dan lainnya.
“Pada tahun 2020 saya tanam hampir 4 hektar. Sekarang lebih, mendekati 5 hektar,” sebutnya.
Pada panen tahun ini, Abta meraup untung Rp 40 juta. Porang hasil budidaya ini bisa dipanen satu tahun sekali saat musim kemarau.
Menurut Abta, kunci dari bertani Porang ini jika harga mahal bisa dipanen, tetapi kalau murah jangan dipanen dulu. Porang hasil budidaya bisa bertahan selama 2 tahun di dalam tanah, namun Porang yang ditanam semi liar bisa bertahan 4 tahun.
“Cara menanam dan merawat mudah kalau semi liar. Kalau budidaya ada perawatan, pupuk pencangkulan, penyemprotan, dan butuh modal. Budidaya 1 tahun bisa panen, jika semi liar paling tidak 2-3 tahun bisa panen,” ungkapnya.
Setelah mulai banyak petani Porang di Kaliwader, kemudian muncul wacana jika selain bertani, harus ada satu orang yang menjadi pengepul, agar harga jual Porang dari petani di Kaliwader bisa stabil, dan tidak tertipu tengkulak dari luar.
Maka sejak itu Abta memberanikan diri, selain bertani Porang, dirinya juga berbisnis, atau menjadi pengepul Porang dari petani, dan langsung dijual ke pabrik.
“Disini jumlah ada 4 kelompok tani, petaninya ratusan. Kami sepakat salah satu jadi pengepul untuk dikirim ke pabrik, kalau tidak ada pengepul, akan ada selisih harga yang lumayan,” katanya.
Selain mendapat keuntungan dari bertani Porang, saat ini Abta juga berhasil menjadi pengepul Porang dengan keuntungan yang cukup besar. Saat musim kemarau, dirinya bisa menyetor ke pabrik sehari sekali. Namun saat musim penghujan, setoran Porang ke pabrik berkurang.
“Saya setor sehari sekali ke pabrik 9 ton, hasilnya sekitar 4 juta per hari dari hasil jual beli. Tapi itu saat musim kemarau, saat musim hujan setor satu atau dua minggu atau seminggu sekali,” pungkasnya.*